Nene’ Mallomo
merupakan salah satu tokoh legenda (cendekiawan) di Sidenreng Rappang
yang kemudian menjadi landmark Kabupaten Sidrap yang hidup di Kerajaan
Sidenreng sekitar abad ke-16 M, pada masa pemerintahan La Patiroi,
Addatuang Sidenreng.
Ada juga yang
menyebutkan bahwa Nene’ Mallomo lahir sebelum masa pemerintahan Raja La
Patiroi, yaitu pada masa Raja La Pateddungi. Beliau meninggal Tahun 1654
M di Allakuang, dimana salah satu mottonya yang terkenal dan menjadi
motivasi kerja adalah Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase
Dewata. Pada zaman dahulu, setiap kerajaan memiliki cendekiawan yang
merupakan pembimbing masyarakat dalam mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran bersama.
Ada 5 orang
cendekiawan yang terkenal dalam perjalanan sejarah kerajaan Bugis, yakni
Kajao Laliddo (cendekiawan kerajaan Bone), Nene’ Mallomo (cendekiawan
kerajaan Sidenreng), Arung Bila (cendekiawan kerajaan Soppeng), La
Megguk (cendekiawan kerajaan Luwu) dan Puang ri Maggalatung (cendekiawan
kerajaan Wajo).
Para
cendekiawan tersebut sering melaksanakan pertemuan untuk mengadakan
diskusi, sambil tukar menukar pengalaman yang nantinya akan menambah
wawasan seiap orang. Salah satu pertemuan yang terkenal digelar di
Cenrana.
Pertemuan
tersebut dihadiri oleh Kajao Laliddo dari Bone, Nene’ Mallomo dari
Sidenreng, Puang ri Maggalatung dari Wajo, Topacaleppang dari Soppeng,
Macca e dari Luwu dan Boto Lempangan dari Gowa.
Dari pertemuan
tersebut, Nene’ Mallomo kemudian melahirkan buah pikirannya yang
disepakati oleh para cendekiawan yang hadir. Buah pikirannya berupa
sebuah prinsip yang harus dijalankan oleh aparat kerajaan dalam
mewujudkan masyarakat yang taat hukum.
Prinsip tersebut dikenal dengan ungkapan “Naia Adek Temmakkeana Temmakkeappo” (hukum tidak mengenal anak cucu).
|
Patung nene' mallomo di pantai losari dan disangkal oleh
teman-teman ipmi sidrap kalo nene' mallomo
bukan perempuan tapi laki-laki. |
Para
cendekiawan kerajaan juga berfungsi untuk menghasilkan karya yang dapat
dijadikan pedoman dalam membangun kerajaan/masyarakat ke arah yang lebih
baik. Pedoman tersebut lebih dikenal dengan istilah pangadereng.
Menurut Muh. Salim (1984), “pangadereng meliputi segala keharusan
bertingkah laku dalam kegiatan orang Bugis, meliputi keseluruhan tata
tertib, pedoman hidup dan kehidupan, baik dalam kehidupan berumah tangga
maupun dalam kehidupan bermasyarakat”.
Pangadereng
meliputi adek (perbuatan yang memberikan keseimbangan/mappasilasa),
bicara (perbuatan saling menyembuhkan/mappasisau dan perkataan yang
saling menghormati), rapang (percontohan, yakni perbuatan yang
menserupakan/ mappasenrupa), wari (tata cara, yakni perbuatan yang tahu
membedakan/mappalaiseng).
Sedangkan Drs.
Mattulada (1968) mengatakan : “pangadereng dapat diartikan sebagai
keseluruhan norma-norma, meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah
laku terhadap sesamanya manusia dan terhadap pranata sosialnya secara
timbal balik dan yang menyebabkan adanya gerak (dinamis) masyarakat.
Pangadereng dibangun oleh banyak unsur yang saling menguatkan.
Pangadereng meliputi hal ihwal ade’ (adat), bicara, rapang (contoh),
wari (tata cara) dan sara’. Semua diperteguh dalam satu rangkuman yang
melatarbelakanginya,yaitu satu ikatan yang mendalam ialah siri”.
Nene’ Mallomo
hanyalah sebuah gelar bagi seseorang, dimana dalam bahasa Bugis Sidrap,
kata Mallomo berarti mudah, yang maksudnya bahwa Nene’Mallomo mudah
memecahkan suatu permasalahan yang timbul. Nene, Mallomo merupakan
seorang laki-laki, walaupun kata nene’ menunjuk pada istilah wanita yang
telah lanjut usia (tua). Dalam budaya Bugis dahulu, kata Nene’
digunakan untuk pria/wanita yang telah lanjut usia.
Nama asli
Nene’Mallomo adalah La Pagala, namun ada juga yang mengatakan bahwa nama
asli Nene’Mallomo adalah La Makkarau. Nene’ Mallomo dikenal sebagai
seorang intelektual yang mempunyai kapasitas dalam hukum dan
pemerintahan serta berwatak jujur dan adil kepada seluruh masyarakatnya.
Dalam konteks
masalah hukum, Nene’ Mallomo mempunyai prinsip yaitu Ade Temmakkeana
Temmakkeappo, yang berarti bahwa hukum tidak mengenal anak dan cucu. Hal
ini menunjukkan sisi keadilan dan ketegasan dari seorang Nene’ Mallomo,
yang juga merupakan salah seorang penyebar agama Islam di daerah
Sidrap.
|
Kuburan Nene Mallomo |
<ichaldutect>